Bianglala
Pada akhir siang yang tidak terlalu menyala, dari bawah kulihat dirimu sendirian di puncak bianglala. Kilau warna yang ada tak mengaburkan senyummu yang memang kelewat menawan.
Bianglala seperti sengaja melambat, seolah tak ingin kita dekat. Sementara antrean di bawah semakin mengular. Mereka memiliki tujuan yang sama, ingin menikmati indahnya dunia bersamamu dari puncak bianglala.
Beberapa mulai lelah, dan tak sedikit yang memilih balik arah. Hingga tersisa aku yang bertahan. Tenagaku masih cukup untuk kita yang kian dekat. Namun, bianglala kian melambat.
Sampai sudah di ujung petang. Bianglala berhenti. Kamu masih di sana, benar-benar terus di sana. Aku mengerti, lalu pulang diiringi kebingungan untuk mengucap “selamat tinggal.” atau “sampai jumpa…” sambil mencoba menerima kenyataan tak sempat menikmati indahnya dunia bersamamu dari puncak bianglala.